Tahukah Anda?
Ada sebuah contoh mengenai 'Menghancurkan Ke-Aku-an'.
Ada seorang psikiater menjadi bhiksu, gurunya adalah Lama Zopa Rinpoche. Ia adalah ditugaskan di suatu daerah. Daerah ini sulit sekali. Mulai dari dimusuhi, tidak di-welcome, dia menjalin hubungan, menunjukkan simpati, ketulusan, sampai masyarakat di sana menerima bhiksu ini. Setelah selang beberapa lama, tidak singkat, beberapa tahun, dia menulis otobiografinya, dia berhasil membangun sebuah vihara. Aduh, alangkah puasnya. Prestasi yang sangat besar, Saudara. Bayangkan, orang yang awalnya dimusuhi, dicurigai, sampai berhasil diterima oleh masyarakat itu dan membangun vihara yang besar.
Beberapa hari sebelum peresmian, Lama Zopa Rinpoche meminta bhiksu itu pindah, ke negara lain. Pada saat peresmian, yang berdiri di podium memberikan sambutan bhiksu lain. Kalau Saudara-Saudara dibegitukan, kira-kira bagaimana rasanya, Saudara? Mungkin Saudara akan menulis surat pembaca, “Bhante ini, bhante itu, Bhante Pannavaro sewenang-wenang, tidak adil, tidak tahu jasa, tidak menghargai perjuangan muridnya, guru yang buruk!” – Apakah bhikkhu yang dipindahkan itu juga begitu? Ya, di dalam hati.
Tetapi itulah, Saudara, cara seorang guru mengajar. Beberapa bulan kemudian, ia sangat bersujud kepada gurunya. “Kalau saya tidak dipindahkan, betapa besar ego/aku saya akan melembung, mungkin melebihi besarnya sang guru dan dunia ini. Lalu apa yang kudapatkan dengan praktik Dhamma? Kalau bukan memperkecil keakuan, malah memperbesar keakuan. Memperbesar keakuan berarti memperbesar penderitaan. Justru ajaran Guru Agung kita, dukkhanirodha, melenyapkan penderitaan.
Saya anjurkan para pemimpin, para Bhante yang ada di Bali mencoba seperti ini; coba, coba. Nanti kalau di sana, Gilimanuk sana, ada vihara yang diresmikan, tiga hari sebelum peresmian, orang-orang yang berdana, berjasa, singkirkan, panitia diganti, coba. Menghancurkan keakuan, menghancurkan penderitaan. Keakuan lahir, penderitaan lahir. Kebebasan adalah ekaraso, “Ayam dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso. Ajaranku ini mempunyai rasa yang satu, yang dangkal maupun yang dalam, ekaraso vimuttiraso, rasa kebebasan.”
Ada sebuah contoh mengenai 'Menghancurkan Ke-Aku-an'.
Ada seorang psikiater menjadi bhiksu, gurunya adalah Lama Zopa Rinpoche. Ia adalah ditugaskan di suatu daerah. Daerah ini sulit sekali. Mulai dari dimusuhi, tidak di-welcome, dia menjalin hubungan, menunjukkan simpati, ketulusan, sampai masyarakat di sana menerima bhiksu ini. Setelah selang beberapa lama, tidak singkat, beberapa tahun, dia menulis otobiografinya, dia berhasil membangun sebuah vihara. Aduh, alangkah puasnya. Prestasi yang sangat besar, Saudara. Bayangkan, orang yang awalnya dimusuhi, dicurigai, sampai berhasil diterima oleh masyarakat itu dan membangun vihara yang besar.
Beberapa hari sebelum peresmian, Lama Zopa Rinpoche meminta bhiksu itu pindah, ke negara lain. Pada saat peresmian, yang berdiri di podium memberikan sambutan bhiksu lain. Kalau Saudara-Saudara dibegitukan, kira-kira bagaimana rasanya, Saudara? Mungkin Saudara akan menulis surat pembaca, “Bhante ini, bhante itu, Bhante Pannavaro sewenang-wenang, tidak adil, tidak tahu jasa, tidak menghargai perjuangan muridnya, guru yang buruk!” – Apakah bhikkhu yang dipindahkan itu juga begitu? Ya, di dalam hati.
Tetapi itulah, Saudara, cara seorang guru mengajar. Beberapa bulan kemudian, ia sangat bersujud kepada gurunya. “Kalau saya tidak dipindahkan, betapa besar ego/aku saya akan melembung, mungkin melebihi besarnya sang guru dan dunia ini. Lalu apa yang kudapatkan dengan praktik Dhamma? Kalau bukan memperkecil keakuan, malah memperbesar keakuan. Memperbesar keakuan berarti memperbesar penderitaan. Justru ajaran Guru Agung kita, dukkhanirodha, melenyapkan penderitaan.
Saya anjurkan para pemimpin, para Bhante yang ada di Bali mencoba seperti ini; coba, coba. Nanti kalau di sana, Gilimanuk sana, ada vihara yang diresmikan, tiga hari sebelum peresmian, orang-orang yang berdana, berjasa, singkirkan, panitia diganti, coba. Menghancurkan keakuan, menghancurkan penderitaan. Keakuan lahir, penderitaan lahir. Kebebasan adalah ekaraso, “Ayam dhamma-vinayo ekaraso vimuttiraso. Ajaranku ini mempunyai rasa yang satu, yang dangkal maupun yang dalam, ekaraso vimuttiraso, rasa kebebasan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hanya butuh 1 menit untuk membaca
kita tinggal di ?
kita hidup di ?
kita bisa makan karena ada ?
kita bisa minum karena ada ?
jawabannya adalah bumi ☺
Bumi yg indah ini penuh dengan berbagai pemandangan alam yg indah tetapi keindahannya tdk akan kita lihat lagi, jika keindahan itu kita rusak dan tidak kita jaga.
sama juga dengan berbagai hasil bumi dan sumber daya alam yg ada, jika tdk kita jaga dan hargai semuanya tentu juga akan hilang dan tdk akan bisa kita nikmati lagi.
oleh sebab itu kita harus saling mengingatkan supaya pikiran, ucapan dan perbuatan kita selalu terjaga dengan baik. kalau pikiran, ucapan dan perbuatan terjaga dengan baik tentu kebijaksanaan akan berkembang. Dengan begitu kebijaksanaan hati untuk menjaga bumi, merawat bumi tentu menjadi ada.
mari kita jaga bumi ini
dengan begitu kehidupan kita tetap bertahan ☺
☺ terima kasih sudah baca , like, berkomentar dan share